KABAR PEMALANG - Beberapa bulan lalu, Pemalang begitu ramai
dengan perayaan, khususnya daerah. Festival
demi festival diselenggarakan
dengan tujuan untuk mengangkat potensi-potensi desa. Mulai
makanan sampai kesenian yang mesti dilestarikan. Contohnya,
Festival Kali Comal di sekitaran Sungai comal
dan Festival Mangga di Desa Penggarit.
Serta tidak ketinggalan, perayaan hari jadi Kabupaten
pemalang yang ke-442 yang jatuh
pada tanggal 24 Januari lalu.
Widya Pustaka |
Namun, bukan festival dan perayaan HUT
Kabupaten Pemalang yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan lebih menyoroti kerja senyap
komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan khususnya,
di bidang
literasi. Komunitas tersebut bernama Widya Pustaka. Dengan cita-cita mengajak
semua orang mencintai dan meluaskan cakrawala keilmuan.
Widya pustaka didirikan oleh seorang gadis cantik
kelahiran Pemalang yang memiliki mimpi dan cita-cita turut berpartisipasi mencerdaskan warga.
Gadis cantik tersebut bernama Nurul Wijiasih. Kegiatannya adalah mengajak
masyarakat untuk sadar bahwa membaca buku adalah hal mulia yang banyak orang
tak menginsyafinya.
Nurul bersama rekan-rekannya memberikan penyadaran dengan mengkhususkan membuka
lapak dan menyediakan ragam buku yang
dapat
diakses warga.
Nurul saat ini sudah lulus dari pendidikannyadi Universitas Semarang.
Nurul menceritakan bahwa mimpinya membuka Widiya Pustaka itu sejak tahun 2015,
yang saat itu ia sedang menanti duduk di semester akhir. Namun,
baru pada pertengahan Oktober tahun
2016, mimpi Widya Pustaka baru terrealisasikan.
Latar belakang Nurul mendirikan Widya Pustaka
itu atas dasar keisengannya membuka pemberitahuan di facebook. Ada salah
seorang dari temennya yang memposting foto-foto membuka perpustakaan jalanan di
daerah Majenang, Cilacap Barat. Katanya, ia sempat iri pada teman-temannya itu.
“Kenapa
aku tidak seperti mereka; suka sama buku, suka baca sampai mendirikan
perpustakaan segala”, ungkap Nurul.
Nah, atas dasar itulah ia termotivasi untuk
suka buku, meluaskan wawasannya biar
tidak hanya pengetahuan sekolah-sekolah yang ia ketahui dengan cara membaca
buku. Dan untuk mewujudukan ini, ia mesti punya suatu cara agar selalu dekat
bersama buku. Yakni, dengan mendirikan perpustakaan yang berguna bagi dirinya
dan masyarakat umum.
Selain itu, sebagai sarjana pendidikan ia juga
sadar, dibalik ambisi pribadinya, ada nilai dasar kemanusian yang harus ia
perjuangkan bersama denga rekan-rekan. Ia tidak rela melihat generasi bangsa,
aset negara, dan aset agama terlantar begitu saja tanpa pendidikan khusus untuk
mereka.
Bukan main, Perjuangan Nurul sangatlah berat
saat ingin mendirikan Widya Pustaka tersebut. Berbagai penolakan sempat ia
hadapi dan terima. Dari mulai keluarga dan teman-temann kuliahnya; bahkan pihak
keluarga adalah penolak paling nomer satu. Alasannya karena kegiatannya
tidak menghasilkan, buang-buang tenaga dan waktu. Sempat, karena tak ada
dukungan keluarga ia mau memberhentikan niatnya. Akan tetapi, ia sadar jika ia
menyerah berarti ia kalah.
Namun, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
Nurul mampu mengejawantahkan mimpinya itu menjadikan kenyataan dengan
mendapatkan beberapa relawan yang mau bekerja sama. Perjuangan nurul pun tidak
sampai disana, ketika dia sukses mendapatkan beberapa tim relawan, dia bingung
untuk memulai mencari tempat yang dijadikan sasarannya. Sampai akhirnya, ia
bertemu dengan adik kelasnya, yakni titi. Bersama titi, nurul berhasil menambah
relasi teman-teman lainnya untuk menjadi relawan. Selain itu, permasalahan tempat pun segera mendapat titik
terang. Melalui rembug dengan beberapa relawan termasuk titi, mereka
menyepakati untuk mencari titik-titik keramaian didaerah ulujami; Pantai
Blendung, Pantai Kertosari, Dan Pantai Kaliprau.
Proses mendapatkan izin tempat ini pun tidak
mudah, lumayan rumit, dimana nurul dan beberapa temannya mesti mendatangi
kepala desa yang akan mereka tempati sebagai wadah nantinya, setelah bertemu
kepala desa dari masing-masing desa. Mereka direkomendasikan untuk langsung
datang ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk meminta surat perizinan
kegiatan. Akhirnya, mereka diberikan surat tembusan ke kecamatan. Dengan
pertimbangan, kegiatan ini diadakan ditingkat kecamatan maka harus ada
pemberitahuan. Berkat kegigihan dan keuletan Nurul dalam bernegosiasi, akhirnya
mereka mendapatkan izin dan dukungan untuk mengadakan kegiatan ini tiap Hari
minggu.
Tentu akan timbul pertanyaan, dari mana buku
dan uang untuk membuat kegiatan ini tetap berjalan?
Nurul bercerita, kalau uang yang dikeluarkan
pure dari patungan para relawan. Kemudian untuk buku, ia bersyukur karena
banyak mempunyai teman-teman yang berhati mulia. Rela mendonasikan buku-buku
yang sudah tidak dipakai namun masih layak baca untuk disumbangkan, guna
menambah koleksi buku. Bahkan, sampai detik ini pun, para donator itu bukan
malah berkurang, akan tetapi malah bertambah.
Meskipun donatur Widya Pustaka selalu ada,
tetap saja ada hal-hal yang mengganjal dihati nurul. Yakni terkait sumber daya
manusia. Karena, meski sudah berjalan, akan ada masanya para relawan pergi
merantau mencari penghidupannya yang baru setelah mereka lulus dari sekolah
maupun perguruan tinggi. Maka dari itu, Nurul senantiasa berharap kedepan akan
semakin banyak hati pemuda-pemudi yang terketuk untuk bersedia menyediakan
tenaganya membantu keberlangsungan Widya Pustaka tanpa embel-embel dibelakangnya.
Nurul pun membuka seluas-luasnya pada siapa pun untuk menjadi relawan Widya
Pustaka, dengan syarat mampu mengajar dengan ikhlas dan rela tidak dibayar.
"Dengan mencintai membaca, saya bangkit dari
ketakutan"
Penulis: Muhammad Arif Maulana
Penulis: Muhammad Arif Maulana
0 Komentar
Silahkan meninggalkan pesan di bagian komentar. thanks