Batu Akik (kompas.com) |
Batu akik kini menjadi aktor dengan bayaran termahal lantaran aktingnya berdaya sihir luar biasa. Tak peduli rakyat kecil, pedagang, pegawai, pejabat, pengusaha hingga penguasa dan kaum selebritas berhasil disihirnya. Padahal sebelumnya, batu akik bisa dikata kurang berdaya pikat, daya magnetnya tidak dahsyat.
Lantas kita merasa layak mengusung tanya, kekuatan apa gerangan yang berada di belakangnya? Kekuatan bisniskah, kekuatan politiskah, atau sekadar perwujudan dari budaya latah? Kenapa tiba-tiba batu akik melambung keangkasa? Kenapa nyaris beriringan dengan berbagai peristiwa penting di negeri tercinta?
Tengok saja rentetan musibah bencana alam baik letusan gunung berapi maupun banjir dan tanah longsor. Misal kemudian keberanian menteri Susi yang bikin banyak pihak kebakaran jenggot. Lalu ketegasan Presiden Jokowi menolak grasi terhukum mati, ketegasan Menaker Hanif Dhakiri, kemelut di internal parpol besar, kemelut di lingkungan keraton selaku pelestari budaya Nusantara, kesadaran Malaysia membongkar mercu yang dibangun tanpa ijin di wilayah kita, hingga kebijakan harga bahan bakar minyak yang sulit diprediksi.
Jika kita menduga adanya keterkaitan antara rentetan peristiwa dengan buming batu akik yang jaraknya relatif beriringan, barangkali semata karena adanya kecurigaan dan rasa penasaran. Padahal boleh jadi kita sendiri menangkap adanya tanda tanda, sebuah tengara akan terjadinya suatu peristiwa. Orang boleh saja berpendapat dahsyatnya demam batu akik merupakan pertanda pertikaian tingkat elit, para pemimpin saling beradu kepala, saling bertikai.
Nampaknya sesuatu diatas jagat raya ini tidak berdiri sendiri tetapi saling berinteraksi satu sama lain. Begitu pula yang berlaku bagi perilaku sosial masyarakat yang tak pernah lepas dari hukum sebab dan akibat. Ketika rencana kenaikan harga BBM diumumkan, beramai-ramailah orang mengisi tanki kendaraan di SPBU. Pihak tertentu justru menangguk untung dari celah yang menganga, menimbun dan menyelundupkan.
Tak beda dengan melambungnya harga batu akik dalam tempo singkat. Ketidakwajaran pun sebenarnya terpampang didepan mata kita. Batu yang semula berserakan di sungai, dipunguti, dibentuk menjadi akik dan dipoles agar mengkilap lalu dibandrol dengan harga selangit lewat kemasan kontes, pameran atawa lelang. Maka berbondong-bondonglah mengusung kekaguman, tak sedikit yang merogoh saku untuk mendapatkan jawaban kepenasarannya. Meski tak jarang harga yang harus dibayar diluar nalar dan daya belinya.
Selain diingini dengan alasan koleksi batu akik juga diburu hobiis baru yang bersedia menguras kocek karena ikut-ikutan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa multiplayer effect -nya sebegitu dahsyat hingga demam batu akik hampir merata di seluruh pelosok negeri ini? Jawaban barangkali saja ada pada pedagang yang menggelar batu akiknya di trotoar, di keramaian pasar tradisional, kios cinderamata di tempat plesiran, di sela gebyar mall dan plasa.
Melambungnya popularitas batu akik adalah sebuah kasunyatan tak terbantah. Dan karena demikian saktinya dia mampu memikat siapa saja. Keberadaannya pun tak lepas dari incaran media, semakin tersiar semakin berkibar pula bendera kedigdayaan batu akik.
Harus diakui pula selain membuka peluang kerja bagi peniaga dan penambang, batu akik juga bisa menyampaikan pesan. Buktinya banyak petinggi terang-terangan membicarakan bahkan mengoleksinya. Tak sedikit pula yang akhirnya meluncurkan kebijakan yang antisipatif karena di daerahnya marak penambangan.
Maka semakin banyak media melansir petinggi yang peduli, semakin melambung pula pamor batu akik. Pak bupati, pak gubernur, pak menteri, pak dirjen, pak presiden, semua menyukai batu akik. Diberitakan ketika ikut berkunjung ibu gubernur memborong barang kerajinan, batu akik. Untuk para tamu mancanegara undangan Peringatan KAA di Bandung, pak walikota menyediakan souvenir hasil kerajinan rakyat, diantaranya batu akik. Namanya juga batu akik. (Ruslan Nolowijoyo)
0 Komentar
Silahkan meninggalkan pesan di bagian komentar. thanks